Rabu, 21 November 2012

UKURAN KEMISKINAN DAN MASALAH SOSIAL DI JAKARTA



    
         Genderang kampanye pemilihan Gubernur DKI Jakarta sudah ditabuh. Lima pasang calon gubernur-wakil gubernur berlomba-lomba memoles diri menarik simpati warga Jakarta dengan berbagai cara dari jualan citra, menebar janji-janji surga serta nenawarkan berbagai program kebijakan untuk memperbaiki Kota Jakarta. Semua pasang calon gubernur-wakil gubernur mengangkat isu yang hampir sama, berbagai isu usang yang tak pernah kunjung padam seperti kemacetan, banjir dan permasalahan sosial di Jakarta. Dari berbagai permasalahan sosial yang dihadapi oleh Jakarta, isu kemiskinan masih menjadi bahan jualan yang cukup menarik bagi para calon gubernur dan wakil gubernur.
Marilah kita semua melihat isu kemiskinan di Jakarta bukan hanya kemiskinan absolut seperti yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik tetapi juga ukuran kemiskinan lainnya. Data statistik menunjukkan angka kemiskinan di Jakarta menurun dari 7.35% (2005), 4.61%(2007), menjadi 3.75% (2011). Angka kemiskinan ini dihitung dengan menggunakan ukuran kemiskinan mutlak di mana seorang dinyatakan miskin jika pengeluaran kurang dari Rp. 355.480/bulan/kapita pada tahun 2011.Sebuah batas yang sangat rendah untuk hidup layak di Jakarta.Gubernur DKI Jakarta boleh berbangga dan mengklaim bahwa Jakarta memiliki tingkat kemiskinan terendah di Indonesia. Tetapi jika dibandingkan dengan keberhasilan daerah lain dalam menurunkan angka kemiskinan, DKI Jakarta sangat tertinggal karena dalam 4 tahun (2007-2011) hanya mampu menurunkan kemiskinan sebesar 0.86% atau 0.21%/tahun.
Di sisi lain, kebanggaan dan klaim keberhasilan menurunkan angka kemiskinan hanyalah semu belaka, karena dengan tingkat pendapatan perkapita sekitar Rp. 33,35 juta/kapita/tahun (2005) maka ukuran kemiskinan mutlak seharusnya sudah ditinggalkan dan digantikan dengan ukuran kemiskinan yang bersifat relatif maupun subyektif. Sen (1983) mengemukakan bahwa negara (daerah) yang sudah mencapai kemakmuran tertentu sudah seharusnya fokus pada isu kemiskinan relatif.Ukuran kemiskinan absolut/mutlak cocok untuk diterapkan di propinsi seperti Nusa Tenggara Timur, Maluku dan Papua atau daerah yang level pembangunannya masih rendah, bukan daerah seperti Jakarta.
Apa itu kemiskinan relatif? Kemiskinan relatif adalah kemiskinan yang dihitung dengan membandingkan pendapatan seseorang dengan rata-rata pendapatan seluruh masyarakat di suatu wilayah.Seorang dikatakan miskin jika pendapatannya kurang dari 0.5 dari rata-rata pendapatan seluruh masyarakat. Berdasarkan perhitungan penulis dengan menggunakan data Susenas 2005, angka kemiskinan relatif di DKI Jakarta adalah sebesar 41.31%, sebuah angka kemiskinan relatif terbesar di Indonesia. Terlihat jelas dengan menggeser ukuran kemiskinan dari ukuran mutlak menjadi ukuran relatif, angka kemiskinan DKI Jakarta melonjak dari 7.37% menjadi 41.31%. Ukuran kemiskinan relatif dapat dijadikan salah satu indikator ketimpangan pendapatan dalam masyarakat dan juga indikator hidup layak seperti warga lain di lingkungan sekelilingnya.
Isu kemiskinan relatif ini sangat penting karena berkaitan langsung dengan isu masyarakat inklusif (inclusive society) dan isu kerentanan sosial.Dua isu ini sangat penting bagi wilayah yang memiliki keragaman etnis, sosial, budaya, ekonomi seperti DKI Jakarta. Seorang yang miskin secara relatif akan tersingkir (teralineasi) dari pergaulan dalam masyarakat, sehingga akan menimbulkan kecemburuan sosial dan pada akhirnya mendorong kerentanan dan kerusuhan sosial. Sebagai contohnya seorang yang berpenghasilan Rp 2 juta/bulan dan tinggal di wilayah yang rata-rata memiliki penghasilan Rp 5 juta/bulan, maka orang tersebut akan merasa lebih miskin dan tersingkir dari pergaulan dengan lingkungan sekitar karena tidak memiliki kecukupan finansial. Kondisi ini mampu menciptakan ruang bagi seseorang yang tersisih dari lingkungan pergaulan, karena permasalahan finansial mengambil jalan pintas yang bertentangan dengan norma hukum seperti pencurian, korupsi dan penggelapan.
Perhitungan penulis menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan relatif berkaitan erat dengan tingkat kriminalitas di suatu daerah. Satu persen kenaikan angka kemiskinan relatif akan meningkatkan resiko kriminalitas sebesar 11 per 100.000 penduduk. Data kepolisian tahun 2009 menunjukkan angka resiko kriminalitas di Jakarta adalah 2 kali lebih besar dibandingkan dengan rata-rata resiko kriminalitas di Indonesia.Kombinasi kemacetan, stres warga ibukota, ketimpangan sosial dan kriminalitas merupakan racikan dasyat bom waktu yang bisa meledak sewaktu-waktu di Jakarta.
Tantangan :
Siapapun yang akan terpilih menjadi Gubernur DKI Jakarta pada Pilkada 2012, akan menghadapi kompleksitas permasalahan perkotaan seperti kemacetan, banjir, isu lingkungan, serta isu sosial seperti 400 ribu warga Jakarta yang berada di bawah garis kemiskinan dan setengah dari warga miskin tersebut berada dalam status rawan pangan. Di lain pihak, permasalahan kemiskinan relatif yang sangat masif akan mudah menyulut kecemburan dan friksi sosial antar warga masyarakat. Kombinasi kerawanan pangan, kemiskinan dan kecemburan sosial, tingginya resiko kriminalitas di Jakarta pada akhirnya akan mengurangi keamanan, kenyamanan dan keindahan Jakarta sebagai Ibukota dan wajah Indonesia di mata dunia. Jakarta akan bangga dengan gubernur yang bersahaja, mampu bekerja keras tanpa banyak citra dan kata mewujudkan Jakarta Aman, Nyaman dan Ramah buat semua.
Kesimpulan     :
lima calon gubernur dki jakarta yang berlomba lomba menarik simpati warga jakarta dengan berbagai cara untuk menjual citra , menuai janji janji surga serta menawarkan berbagai program jakarta yang isyimewa. Semua calon gubernur dan wakil gubernur hampir sama mengangka isu yang tak pernah kunjung padam seperti kemacetan , banjir , dan permasalahan sosial di jakarta. Isu kemiskinan masih menjadi bahan utama jualan yang ukup menarik bagi para calon gubernur dan wakil gubernur. Melihat data statistik menunjukan angka kemiskinan di jakarta menurun dari 7.35% (2005), 4.61% (2007) menjadi 3.75% (2011). Angka kemiskinan ini dihitung dengan menggunakan ukuran kemiskinan mutlak di mana seorang dinyatakan miskin jika pengeluaran kurang dari Rp. 355.480/bulan/kapita pada tahun 2011. Sebuah batas yang sangat rendah untuk hidup layak di Jakarta.Gubernur DKI Jakarta boleh berbangga dan mengklaim bahwa Jakarta memiliki tingkat kemiskinan terendah di Indonesia. , kebanggaan dan klaim keberhasilan menurunkan angka kemiskinan hanyalah semu belaka, karena dengan tingkat pendapatan perkapita sekitar Rp. 33,35 juta/kapita/tahun (2005) maka ukuran kemiskinan mutlak seharusnya sudah ditinggalkan dan digantikan dengan ukuran kemiskinan yang bersifat relatif maupun subyektif. Dki jakarta sangat tertinggal jauh dalam menurunkan kemiskinan dengan daerah daerah lain, dibandingkan dengan daerah daerah  lain yang cukup berhasil menurunkan kemiskinan, jakarta tidak berhasil menurunkan kemiskinan untuk  1% dalam total manusia yang ada di jakarta. Calon gubernur dan wakil gubernur harus tanggap dan sigap untuk mengatasi masalah kemiskinan di ibu kota indonesia ini. Untuk masalah kemiskinan dan kesenjangan sosial banyak sekali menimbulkan kecemburuan sosial bagi para pekerja di jakarta yang berpenghasilan kurang dari Rp.2juta , untuk tahun sekarang penghasilan kurang dari Rp.2juta sangat tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup di kota metropolitan ini, dalam hal itu banyak para pekerja yang merasa lebih miskin dan tersingkir dari segi pergaulan, kebutuhan dan lingkungan di sekitar tempat tinggal mereka karena tidak memiliki kecukupan finansial. Keadaan ini mungkin semakin banyak yang melakukan tindak keriminal hukum deprti pencurian, korupsi, dan pelanggaran pelanggaran hukum lainnya. Semua ini harus cepat cepat di atasi dan di urus dalam kemiskinan sosial , kesenjangan sosial , dan keriminal yang makin banyak di DKI jakarta agar tidak ada lagi kecemburuan kecemburuan yang ada di ibu kota ini.
Pendapat :
Untuk calon gubernur dan wakil gubernur yang terpilih, bersiap siap dan sigaplah untuk mengatasai masalah masalah yang sangat banyak dalam kesenjangan sosial , kemacetan , banjir , isu lingkungan , serta kemiskinan yang semakin nambah angka kemiskinan setiap tahunnya. Jangan lah mengumbar ngumbar janji surga yang istimewa untuk menarik perhatian warga jakarta , sudah jenuh dan bosan mendengar janji janji kebohongan dari calon gubernur dan wakil gubernur yang mereka buat. Mengatasi masalah dki jakarta tidak seperti membalikan telapak tangan yang begitu mudah, apabila calon gubernur dan wakil gubernur tidak kuat dan berhasil untuk mengatasi permasalahan yang begitu sulit untuk di selesaikan, sebaiknya mundur dari jabatan gubernur dki jakarta, karena hanya membuang buang waktu dan menjadikan banyak korupsi yang semakin merabak di dki jakarta. Waktu 5 tahun adalah waktu yang sangat singkat untuk memimpin kota dki jakarta yang sangat besar ini, tidak ada kata main main untuk calon gubernur dki jakarta untuk tidak melaksanakan tugas yang sangat rumit ini. Semua masyarakat dki jakarta mengharapkan pemimpin yang adil, jujur, bersih dan merakyat , serta berhasil memimpin kota dki jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

About Me...

Foto saya
Jakarta, DKI Jakarta, Indonesia
Sistem Informasi , gunadarma , peroid S1 , since 2012. and many more educatoin.